Bermula dari istilah umum yaitu penyandang cacat, di lembaga pendidikan disebut Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), di Kementerian Sosial disebut Orang Dengan Kecacatan kemudian berubah menjadi Orang Dengan Kedisabilitasan (ODK).
Dalam perundang-undangan Indonesia memiliki Undang-undang nomor 4 tahun 1997 (Penyandang Cacat), penggunaan istilah “tuna netra, tuna runggu-wicara, tuna daksa, tuna grahita”. Istilah penyandangan cacat kemudian berubah menjadi penyandang disabilitas seperti yang terkandung dalam Undang-undang nomor 8 tahun 2016 (Penyandang Disabilitas).
Muhammadiyah sebagai organisasi Islam memandang perlu mengkaji tentang fikih penyandang disabilitas. Upaya tersebut berawal dari kegiatan workshop Tarjih Muhammadiyah tahun 2018 dengan judul “Difabel (different ability) artinya perbedaan kemampuan atau orang dengan kemampuan berbeda. Upaya tersebut kemudian berlanjut di tahun 2020 dengan diselenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih Muhammadiyah ke-31 di Gresik.
Dari sekian banyak pembahasan, Fikih difabel merupakan salah satu topik yang dibahas di Munas Tarjih ini.
Menurut Ali Yusuf (Anggota Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP. Muhammadiyah) terdapat tiga nilai-nilai dasar Fikih DIfabel: pertama yaitu Tauhid yang meliputi (a) keyakinan segala yang ada adalah ciptaan Allah tercantum dalam QS. Ath-Thalaq: 30, (b) Allah mengatur semua ciptaanNya dari bentuk fisik hingga nasib, tercantum dalam QS. At-Tiin: 4, dan (c) Keyakinan bahwa setiap pemberian Allah terdapat kebaikan bagi hambanya, tercantum dalam QS. An-Nahl: 30.
Kedua, keadilan yaitu (a) perintah berlaku adil kepada semua orang sebagai prinsip kesetaraan Al-Musawa (equality) tecantum dalam QS. An-Nahl: 90, (b) kondisi difabel tidak menghapus statusnya sebagai mukallaf karena keterbatasan fisik, sensorik, mental, maupun intelektual, sehingga setiap orang didorong untuk melaksanakan ibadah sesuai kemampuan masing-masing QS. At-Thagabun: 16.
Ketiga, kemaslahatan terdiri dari (a) Maaqasid a;-Syariah dalam kontek difabel adalah menjaga hak-hak, memberikan kontribusi nyata dalam segala bidang, QS. Al-Baqarah: 143, (b) memperjuangkan kemaslahatan difabel yang bertumpu pada perlindungan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta selaras dengan tujuan risalah Islam rahmatan lil alamin QS. Al-Anbiya: 107, (c) Siapapun berhak memberikan kontribusi nyata dalam mewujudkan kemaslahatan sesuai dengan kemampuannya, QS. Al-An’am: 165.
Keputusan Tarjih Fikih Difabel ini merekomendasikan pengadaan fasilitas ibadah yang ramah bagi difabel, seperti tempat bersuci, tempat ibadah, dan tempat talabul ilmi. Dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip ajaran Islam dalam pelaksanaan ibadah yaitu menghilangkan kemadharatan, tidak ada pembebanan dalam agama, dan menggembirakan bukan menakutkan.
Selain itu Majelis Tarjih juga menegaskan Fikih Difabel untuk memenuhi dan melindungi hak-hak difabel yang berkaitan dengan persoalan hukum, dan muamalah, hak tumbuh kembang, dan hak sipil (hak layanan hukum, lapangan kerja, berpartisipasi dalam politik, pendidikan, keagamaan, dan lain-lain).