![]() |
Ilustrasi |
Gempa Cianjur menjadi perhatian banyak orang di Indonesia satu pekan terakhir ini. Baik media internet maupun media elektronik ramai memperbincangkan. Berbagai organisasi dan komunitas ramai-ramai mengumpulkan donasi untuk membantu korban gempa Cianjur. Mulai dari lembaga zakat infak shodaqoh (ZIS) dari beragam organisasi Islam, komunitas atau organisasi berskala lokal maupun nasional, partai-partai politik pun tidak mau kalah ikut serta memberikan bantuan.
Selain itu bantuan juga datang dari komunitas atau organisasi agama non Islam. Mereka semua bersatu, bahu membahu menolong sesama sebagai bentuk pengamalan Pancasila sila ketiga “Persatuan Indonesia” dan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”.
Di balik musibah dan bencana terdapat banyak hikmah, sungguh terasa warisan nenek moyang Indonesia yaitu gotong royong seperti pepatah “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing” terbukti mampu melewati masa-masa sulit. Dengan sikap tersebut terbukti Indonesia dapat melalui masa pandemi Covid-19 dengan baik. Kedermawanan masyarakat Indonesia tidak diragukan lagi bukan hanya di dalam negeri tapi sudah sampai ke mancanegara salah satunya yaitu donasi untuk Palestina.
Di balik bencana ini ada kabar yang meresahkan, satu hari setelah kejadian gempa di Cianjur, ramai pesan beruntun di Whatsapp berisi tentang Kristenisasi di Cianjur. Teori cocokologi pun dipakai oleh pembuat pesan yang menyatakan bahwa gempa bumi terjadi karena masyarakat Cianjur banyak yang murtad atau keluar dari agama Islam.
Pesan tersebut ditanggapi beragam oleh pembacanya. Beberapa pembaca menanggapi serius dan menganggap perlu ditangani segera, beberapa pembaca lain terlihat santai karena banyak beredar hoax melalui pesan berantai.
Jika ditelusuri pesan berantai tersebut bersumber dari artikel website pada akhir tahun 2017 dengan judul yang menggemparkan “100% Penduduknya Pindah Agama Menjadi Kristen!”. Pesan berantai tersebut menyebut Desa Panyawangan di daerah Ciranjang Cianjur hampir 100% penduduknya pindah agama menjadi Kristen. Pertama kali informasi tersebut beredar luas yaitu awal tahun 2018 dan langsung ditindaklanjuti oleh peneliti Balitbang Kemenag RI.
Hasil temuannya menyatakan bahwa di daerah Ciranjang Cianjur tidak ada nama Desa Panyawangan, sedangkan penduduk non muslim berada di dua desa yaitu Desa Sindangsari dan Desa Kertajaya yang merupakan warga keturunan. Informasi tersebut kembali beredar tahun 2020, dan sekarang kembali beredar bertepatan dengan bencana Gempa Cianjur. Jadi total sudah tiga kali informasi tersebut beredar dan untuk ketiga kalinya “berhasil” meresahkan masyarakat.
Di era digital saat ini masyarakat perlu cakap bermedia digital (digital skill) salah satu cirinya yaitu berpikir kritis dalam memahami informasi. Tidak semua informasi yang didapat itu benar dan jika informasi tersebut benar, tidak selamanya harus disebarluaskan. Salah satu dampak dari beredarnya pesan berantai tentang Kristenisasi di Cianjur yaitu viralnya video oknum anggota ormas mencabut label Gereja di tenda/posko pelayanan korban gempa Cianjur.
Video tersebut menuai reaksi keras dari warganet mulai dari kalangan orang biasa, selebriti, sampai pejabat. Salah satunya yaitu reaksi dari Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil yang mengatakan “SANGAT DISESALKAN DAN TIDAK BOLEH TERULANG LAGI”.
Suatu hal yang wajar jika komunitas atau organisasi memasang label atau bendera identitas di tenda/posko bantuan yang didirikannya. Bukan hanya organisasi atau komunitas, partai politik pun kerap melakukan hal yang sama. Pencabutan label identitas merupakan tindakan intoleran dan bertentangan dengan Pancasila Sila kedua “Kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Semua pihak dari golongan dan agama manapun berhak memberikan bantuan kemanusiaan. Jika ada “udang di balik batu” itu urusan mereka, niat mereka tidak dapat dilihat secara kasat mata. Tugas kita adalah mengawasi jika ada unsur pemaksaan untuk pindah agama.
Sejenak kita berandai-andai, jika kejadian tersebut menimpa organisasi Islam, seandainya Lazismu diperlakukan seperti itu. Misalnya Lazismu mendirikan posko/tenda bantuan di daerah Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang penduduknya mayoritas beragama Katolik dan Protestan.
Seandainya seorang oknum mencabut label/bendera identitas Lazismu di sana, apa yang umat Islam rasakan? Di sini kita perlu berempati, seandainya kejadian yang sama menimpa kita, apa yang kita rasakan dan apa yang harus dilakukan? Mungkin saja terlintas di pikiran umat Islam “semoga warga NTT tersentuh dengan bantuan dan mendapat hidayah Islam”.
Selama tidak ada unsur paksaan, apakah itu wajar? Mungkin saja pikiran yang sama terlintas di benak mereka pemberi bantuan dari non muslim untuk korban gempa Cianjur. “semoga warga Cianjur tersentuh dengan bantuan dan masuk agama kami”. Selama tidak ada unsur paksaan, apakah itu wajar?