![]() |
Ilustrasi Guru Galak |
Hal ini dibenarkan oleh wakil ketua umum DPR, yang juga menjadi pemimpin rapat tersebut, Sufmy Dasco Ahmad: "Rapat Paripurna DPR RI hari ini telah ditandatangani oleh hadir fisik 18 orang, virtual 108 orang, izin 164 orang".
Setelah melalui proses yang cukup alot akhirnya para peserta menyetujui RKUHP itu menjadi sebuah Undang-Undang baru. Ketuk suara palu baru berbunyi ketika Dasco menanyakan kembali sebuah pertanyaan kepada para peserta.
"Kami menanyakan kembali kepada seluruh peserta sidang apakah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?". "Setuju", jawab para peserta.
Dengan demikian Indonesia memiliki sebuah beleid/aturan hukum baru yang lahir dari "rahim" sendiri setelah sekian lamanya menggunakan KUHP warisan kolonial, yang di nilai telah usang, ketinggalan zaman.
Namun apakah RKUHP yang kemarin disahkan itu sesuai dengan situasi dan kondisi rakyat dan apakah RKUHP baru itu jauh dari kritikan?
Pada kenyataanya tidak. Seharusnya memang RKUHP itu disesuaikan dengan kebutuhan rakyat tapi sayangnya dari awal rencana digulirkannya RKUHP ini sudah banyak mendapatkan kritikan.
Beberapa kritikan yang muncul salah satunya adalah waktu selama proses penyusunan RKUHP itu, pemerintah di sinyalir tidak terbuka dan agak tertutup atau tidak partisipatif.
Padahal pembentukan beleid/hukum atau undang-undang itu harus sesuai prinsip open access, melibatkan masyarakat. Karenanya tidak terlalu mencengangkan kalau setelah RKUHP itu disahkan banyak kritikan yang muncul.
Bahkan beberapa pihak dengan jelas menolak RKUHP itu. Seperti dari Komnas HAM, YLBHI, Aliansi Nasional Reformasi, Aliansi Jurnalis Independen, Aliansi Masyarakat Sipil, serta beberapa pihak yang memang mempunyai keberatan terhadap pasal tertentu.
Beberapa Pasal Kontroversial di RKUHP
Penolakan tersebut berkaitan dengan pasal-pasal yang dinilai sangat kontroversial, lucu dan bahkan ada yang mengatakan tidak perlu.
Mayoritas dari mereka yang menolak, yang datang dari lembaga atau masyarakat umumnya yakni sangat menyayangkan pasal-pasal yang dinilai bisa mengurangi nilai demokrasi.
Bukan hanya mengurangi nilai demokrasi tapi mungkin juga aturan ini akan menggiring pemerintahan sekarang menjadi sebuah kekuasaan absolut.
Tentu hal ini tidak sehat untuk generasi masa muda mendatang, mengingat bahwa ditangan merekalah nasib bangsa kelak berada. Tapi nyatanya pemerintah seakan memunculkan trauma sistem yang otoriter seperti yang terjadi pada pemerintahan orde baru. "Belum bertindak eh sudah dicekal."
Kalau meminjam pemikiran Jeremy Bentham dan d Michael Foucault situasi ini mirip dengan mode panopticon. Pemerintah seakan mengawasi rakyat tapi tidak dengan secara langsung melainkan lewat hal-hal yang menimbulkan trauma.
Meski disayangkan tapi yah semua itu sudah disahkan menjadi UU. Maka kita akan berhadapan dengan pasal-pasal yang barangkali membatasi ruang gerak masyarakat apalagi generasi muda mendatang.
Umpamanya seperti pasal penghinaan terhadap presiden yang tertuang dalam pasal 218:
"Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan/atau wakil presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV," bunyi pasal 218 ayat (1) RKUHP".
Meski pasal ini merupakan delik aduan. Artinya pelaku akan ditindak bila ada yang melapor. Tapi dalam prakteknya mungkin akan muncul sebuah misinterpretasi. Bisa saja yang dimaksud oleh orang yang, umpamanya mengkritik Presiden atau wakil Presiden, ternyata dianggap menghina.
Makna antara kritik dan hina mungkin akan berbeda bila dilihat dari sisi pelapor dan yang dilaporkan. Makanya pasal ini banyak dikatakan orang sebagai pasal karet.
Belum lagi muncul pula pasal penghinaan terhadap lembaga negara seperti yang tertuang dalam pasal 349. Meski secara pribadi sepakat bahwa menghina itu tidak boleh tapi pasal-pasal seperti ini sejatinya akan mengancam aktifitas kebebasan berpendapat.
Lalu muncul lagi pasal lainnya yang kiranya bisa menghambat proses demokrasi di Indonesia. Pasal 256 ini barkaitan dengan aturan Demonstrasi:
"Setiap Orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II," bunyi pasal tersebut".
Tapi sangat disayangkan bahwa adanya pasal ini justru ruang gerak seakan dibatasi kembali dan rentan pula dikriminalisasi, yah sama dengan pasal-pasal sebelumnya bahwa semua bisa kena.
Bila bertanya apakah ada ruang gerak bagi generasi muda kedepan? Maka jawabannya adalah tentu ada, tapi, kembali lagi pada pasal-pasal tadi, barangkali generasi muda harus bergerak sesuai arahan dari pemerintah, menuruti apa yang telah ditetapkannya dan kalau tidak mau menurut yah mungkin dibungkam. Apakah ini jawaban yang diinginkan generasi muda mendatang? tentu tidak!.