Pramuka & Hizbul Wathan 


Saat ini media sedang ramai perbincangan mengenai Pramuka tidak lagi wajib diikuti oleh siswa-siswi sekolah di Indonesia. 


Mendikbud Nadiem Makarim mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud )No 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah yang salah satu isinya menghapus ekstrakulikuler pramuka sebagai ekskul wajib.


Nadiem beralasan Permendikbud No.12 Tahun 2024 ini dikeluarkan sebagai landasan acuan kurikulum merdeka. Banyak pihak yang tidak setuju dengan Permendikbud ini salah satunya yaitu Muhammad Iqbal, seorang psikolog sekaligus dosen Universitas Paramadina. Iqbal menilai kebijakan Menteri Nadiem tersebut sungguh di luar nalar karena saat ini Indonesia sedang menghadapi krisis kepemimpinan.


Iqbal berpandangan bahwa Pramuka seharusnya tetap diwajibkan karena berdampak positif dalam pembentukan karakter siswa di tengah gempuran teknologi informasi dan media sosial yang banyak membuat siswa antisosial.


Sejarah Kepanduan Indonesia: JPO, Padvinder Muhammadiyah, dan Pramuka 


Tahukah anda bahwa Pramuka resmi berdiri di Indonesia tahun 1961? Namun jauh sebelum itu sudah ada dua gerakan kepanduan: di tahun 1916 Javaansche Padvinders Organisatie (JPO); dan Padvinder Muhammadiyah 1918. 


Sebelum dua Kepanduan tersebut muncul, Kepanduan di Indonesia dibawa oleh dua tokoh penjajah Belanda yaitu PJ Smith dan Mayor de Jager, pada 1913-1914.


Pada waktu itu, tujuan mereka adalah untuk mendidik remaja Belanda berusia 12-18 tahun agar menjadi warga negara yang baik, disiplin, berkarakter, setia pada Ratu Belanda, bangga akan tanah air Belanda, gemar menolong, dan mencintai lingkungan. Organisasi kepanduan awal ini diberi nama Nederlandsche-Indische Padvindersvereeniging (NIPV).


Terjadi perbedaan yang mencolok dalam latar sosial kegiatan kepanduan di Indonesia pada masa itu dengan di Eropa. Di Eropa, kepanduan berkembang di tengah situasi perang antarnegara dan generasi muda yang bingung dan bimbang menghadapi kehidupan di masa perang.


Namun, di Indonesia, terutama pada tingkat lokal, terdapat perbedaan yang signifikan dimana kepanduan justru dipengaruhi oleh semangat nasionalisme dan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Dari pendekatan kepanduan ala Belanda tersebut, para tokoh nasional pada saat itu melihat kesempatan untuk menanamkan nilai-nilai awal nasionalisme kepada generasi muda sebelum kemerdekaan.


Sebuah organisasi kepanduan bernama Javaansche Padvinders Organisatie (JPO) didirikan pada tahun 1916, yang dipelopori oleh Pangeran Mangkunegara VII di Surakarta. Sesuai dengan namanya, setiap anggota JPO diwajibkan setia kepada keraton, kepada Sri Sultan, dan kepada Tanah Jawa. Anggota JPO pada saat itu terbatas di lingkaran keraton, dan setiap Minggu mereka menjalani latihan di halaman depan keraton.


Mereka melatih keterampilan baris-berbaris, pertolongan pertama, penggunaan tali, membaca peta, dan keterampilan dasar kepanduan lainnya. Para anggota muda yang mengenakan seragam itu melatih keterampilan mereka secara terbuka, sehingga dapat dilihat oleh warga yang melintas di depan pagar keraton.


Ketika mengunjungi kediaman Kyai Haji Imam Mukhtar Bukhari untuk menghadiri pengajian rutin, KH Ahmad Dahlan melihat para anggota Javaansche Padvinders Organisatie (JPO) yang menggunakan seragam tengah berlatih di halaman Pura Mangkunegaran. JPO merupakan cabang organisasi kepanduan masa Hindia Belanda yang didirikan di Pura Mangkunegaran.


Setelah kembali ke Yogyakarta, KH Ahmad Dahlan berbagi cerita tentang pengalamannya di Surakarta dan menyampaikan keinginannya untuk mendirikan kepanduan di Muhammadiyah.


Sumodirjo dan Sarbini, yang mendengarkan cerita tersebut, segera memulai pendirian kepanduan di lingkungan Muhammadiyah. Setiap sore, anak-anak di sekitar Kauman dilatih dalam kegiatan kepanduan seperti baris-berbaris dan pertolongan pertama pada kecelakaan. Pada malam hari, mereka juga diberi pendidikan keagamaan.


Padvinder Muhammadiyah didirikan pada tahun 1918, dan dua tahun kemudian, organisasi ini berubah nama menjadi Hizbul Wathan. Nama Hizbul Wathan memiliki arti "pembela tanah air" dan diberikan oleh KH Hadjid. Tokoh pertama yang memimpin gerakan kepanduan Hizbul Wathan adalah Haji Mukhtar Bukhari.


Sejak berdiri, anggota Hizbul Wathan terus bertambah. Namun, saat Jepang menduduki wilayah tersebut, organisasi ini dilarang. Meskipun demikian, salah satu guru dan pembina Hizbul Wathan, yakni Jenderal Soedirman, tetap aktif dalam perlawanan terhadap penjajah.


Pada tahun 1950, Hizbul Wathan kembali aktif setelah sebelumnya dilarang. Namun, pada tahun 1961, semua gerakan kepanduan di Indonesia, termasuk Hizbul Wathan, digabungkan menjadi Pramuka. Baru pada tahun 1999, Hizbul Wathan dihidupkan kembali sesuai dengan SK Nomor 92/SK-PP/VI-B/1.b/1999. Kemudian, keberadaannya diperkuat dengan SK Nomor 10/Kep/I.O/B/2003 pada 2 Februari 2003. Hizbul Wathan pun menyebar ke seluruh wilayah Indonesia dan terus mengembangkan program dan pembinaannya.